Kepribadian seseorang tercermin dari bahasanya. Bahasa juga menunjukan budaya suatu bangsa. Kesimpulan kasarnya tinggi-rendahnya budaya suatu bangsa tergambar dari bahasanya. Begitu juga luhur-tidaknya kepribadian seseorang tercermin dari bahasanya.
Betulkah
kesimpulan ini? Secara lahiriah, ya memang betul. Tapi secara batiniah belum
tentu seperti itu. Buktinya para koruptor, para penipu banyak yang
berpenampilan terhormat, berbahasa santun tapi toh kemudian ujung-ujungnya
merugikan, menusuk dari belakang yang rasanya lebih menyakitkan daripada
menusuk mata terbelalak. Atau sebaliknya ada orang yang berpenampilan sangar,
berbahasa kasar tapi berhati sebening embun, selembut beludru, sehalus sutra,
secerah surya, semulia emas.
Memang
kita manusia sebagai makhluk lahir bathin sangat sulit menilai bathin dari
bahasa, menilai hati dari rupa. Tapi toh dalam kaidah ushul fiqih juga
disebutkan “fahkum bidzdzowahir wala tahkum bissarooir” putuskan
kesimpulan dari lahiriyahnya dan jangan sebaliknya diputuskan dari
bathiniyahnya. Hakim di pengadilan apapun pasti seperti itu memutuskan perkara
berdasar alat bukti yang ada dan jelas.
Kermbali
kepada masalah kepribadian dan budaya yang tercermin dari bahasa seseorang atau
bahasa suatu bangsa. Seperti sering digaungkan dimana-mana bahwa bangsa kita –
bangsa Indonesia – adalah bangsa yang terkenal dengan keramah-tamahannya,
berbudaya tinggi yang tentunya berbahasa santun. Tak hanya itu bahkan sejarah
mencatat para pendiri bangsa kita ketika berbicara dibanyak kesempatan di
sidang PBB sangat mencengangkan, membuat terkagum-kagum banyak orang. Kenapa,
karena kemampuan berbahasa Inggrisnya yang sangat pilihan, lebih halus daripada
para bangsawan Inggris sekalipun. Bahasa adalah kendaraan untuk menyampaikan
maksud tapi juga sekaligus mencerminkan budaya bangsa dan kepribadian
seseorang, buktinya bangsa Indonesia yang usianya sangat belia sangat
diperhitungkan, berkat perjuangan dan orasi orator sekelas Presiden Sukarno.
Siapapun di negri ini dengan bangga berkata “Hidup Bung Karno”, “Sukarno, babe
gue”, “Sukarno.. dilawan..”.
Berbicara
tentang bahasa, sebuah pertanyaan, siapakah pencipta kata dalam suatu bahasa?
Jawabannya sangat kompleks yang intinya pencipta kata suatu bahasa adalah
penggunanya itu sendiri. Sebuah kosa kata terucap dari mulut seseorang dan
dimaklumi maksudnya, terus menyebar liar dari mulut ke mulut dimengerti artinya
dan disetujui penggunaannya oleh banyak orang bahkan setelah
berputarnya waktu. Maka jadilah kosa kata itu kekayaan sebuah bahasa. Dalam posisi
seperti ini jelas terbayang oleh kita bahwa orang yang perkataannya banyak
didengar oleh banyak orang seperti guru, para pejabat, artis, para mubaligh
sangat bisa berperan dalam melahirkan sebuah kosa kata baru. Terlepas apakah
kosa kata itu menggelikan ataupun jorok, tidak senonoh.
Sebuah
pertanyaan lanjutan, santunnya suatu kalimat (perkataan) karena bahasanya
ataukah karena pilihan katanya? Jawabannya sangat mudah tentu saja karena
pilihan katanya. Jelasnya disini seorang pembicara santun pasti sangat mengerti
diksi, pilihan kata. Sebab kesantunan juga menunjukan keterpelajaran seseorang,
dan dalam masyarakat sosial kesantunan menunjukan keterhormatan seseorang. Lalu
bagaimana fenomena kata tetek-bengek yang banyak
diucapkan bahkan oleh publik pigur termasuk oleh guru dan
orang-orang terhormat dan terpelajar lainnya. “Seharusnya saya sebagai direktur
tidak perlu turun tangan mengurusi tetek-bengek ini, masa
urusan tetek-bengek dapur harus diselesaikan oleh saya juga”.
Kata tetek-bengek disini berarti semua hal, segala hal, seluruhnya. Padahal
kata tetek-bengek kalau kita dekati, kita selusuri makna
dasarnya tetek berarti susu atau payudara (binatang dan
manusia). Sedang bengek berarti lembek, penyakit TBC (penyakit
mengi; Bahasa Jawa). Sehingga tetek-bengek berarti susu atau
payudara lembek, atau bisa juga susu atau payudara orang berpenyakit TBC.
Pertanyaan
selanjutnya, bagaimana mungkin kemudian orang-orang yang terhormat, terpelajar
masih memilih kata tetek-bengek, kosa kata yang vulgar berbau cabul
ini ditempat umum. Padahal jelas makna asalnya sangat tidak senonoh. Apakah
karena ketidaktahuan, ketidakpedulian, pelecehan, suka-suka saja, atau karena
sebab lain. Padahal mungkin saja pencetusnya adalah preman pasar atau mungkin
juga asalnya adalah sumpah serapah orang yang marah-marah. Lagi-lagi
pertanyaannya mengapa kita mengikutinya dan menggunakan kata tetek-bengek dalam
keseharian bahkan dalam acara formal. Mungkin ada kilah, kata majemuk memang
seperti itu. Makna kata jadiannya selalu berubah dari makna dasarnya. Tapi
kalau kita lihat untuk kata majemuk lain maknanya tidak sampai membawa-bawa
organ tubuh yang tidak senonoh. Rumah sakit, terdiri dari kata rumah dan sakit.
Sopan-sopan saja. Kamar mayat, terdiri dari kata kamar dan mayat,
sopan tidak masalah. Tapi tetek-bengek, apa sopannya? Tetek kan
organ tubuh yang tidak layak diperlihatkan dimuka umum. Walau mungkin ada
sebagian warga disebagian suku tertentu tidak mempermasalahkan kebiasaan
perempuan yang bertelanjang dada. Bahkan kata tetek diucapkannya
juga saya yakin sebagian besar rakyat Indonesia akan berpaling muka.
Bahkan sebagian orang terutama perempuan memerah muka karena menahan malu
ataupun alasan lainnya. Akhirnya nasib sebuah teori padat berisi penuh mutiara
terlantarkan pada sebagian orang hanya karena kemasan bahasa yang menurutnya
tidak berkenan.
Berikut
beberapa responden yang dimintai komentarnya tentang kata tetek-bengek yang
sebelumnya diberitahukan dulu makna dasarnya.
No
|
Nama
|
L/P
|
Usia
|
Komentar
|
Keterangan
|
1
|
Heri
|
L
|
9 thn
|
“Tidak sopan...!”
|
Siswa SD
kelas 3
|
2
|
Iwan
|
L
|
32 thn
|
“Kita ini korban pencetus kata tersebut, kata ini kadung sudah ada
tapi seharusnya orang terpelajar dan publik figur jangan menggunakannya”
|
Pegawai Foto Copy
|
3
|
Ayu
|
P
|
14 thn
|
“Tidak apa-apa.. tapi saya malu mendengarnya kalau ingat makna dasarnya.
Saya sendiri tidak menggunakannya”.
|
Siswi SLTP
Kelas VIII
|
4
|
Aan
|
L
|
30 thn
|
“Tidak apa-apa, kita kan melihat makna jadiannya saja. Tidak perlu kita
melihat kata majemuk dengan melihat makna dasarnya”
|
Guru SD
|
5
|
Nining
|
P
|
20 thn
|
“Pelecehan..!”
|
Penjahit
|
6
|
Kurbah
|
P
|
52 thn
|
“Pasti pencetusnya laki-laki, maksudnya sih bergurau tapi keterlaluan..”
|
Ibu Rumah Tangga
|
Tulisan ini seperti hendak mendongkel batu sebesar
rumah dengan sebatang lidi. Tulisan ini juga mungkin bagi para akademisi
menganggapnya tidak ilmiah. Tapi seperti kata Aa Gym 3M; Mulailah dari hal
kecil. Mulailah dari diri sendiri. Dan Mulailah saat ini juga.
Dan kepada para pengguna kata tetek-bengek, ketahuilah
bahwa ketika menggunakannya maka ada beberapa orang yang memberi penilaian
negatif terhadap anda. Mungkin penilaian yang sangat subjektif. Tapi apapun itu
jelas ada beberapa audiens mulai meninggalkan anda.