Yang ingin menulis-menulislah, yang ingin bermusik-bermusiklah, yang ingin menyanyi-menyanyilah, yang ingin melukis-melukislah, yang ingin menari-menarilah, yang ingin apa saja kerjakanlah! Sebagaimana Robi'ah, Rumi, Walibah, hingga Dzunnun al-Mishri, Tak ada yang tabu, tak ada yang salah untuk menuju sudut Yang Satu, Melalui jalan manapun, Asal kau tempuh dengan ruh; bahwa yang tercatat adalah ilmu-Nya, yang berirama adalah instrumen-Nya, yang bersuara adalah anugrah-Nya, yang terlukis adalah keindahan-Nya, yang bergerak adalah kuasa-Nya, Maka jika kau ingin apa, kerjakanlah, asal kesemuanya bermuara lillahi ta'ala.

Menggugat Tetek Bengek



Kepribadian seseorang tercermin dari bahasanya. Bahasa juga menunjukan budaya suatu bangsa. Kesimpulan kasarnya tinggi-rendahnya budaya suatu bangsa tergambar dari bahasanya. Begitu juga luhur-tidaknya kepribadian seseorang tercermin dari bahasanya.

Betulkah kesimpulan ini? Secara lahiriah, ya memang betul. Tapi secara batiniah belum tentu seperti itu. Buktinya para koruptor, para penipu banyak yang berpenampilan terhormat, berbahasa santun tapi toh kemudian ujung-ujungnya merugikan, menusuk dari belakang yang rasanya lebih menyakitkan daripada menusuk mata terbelalak. Atau sebaliknya ada orang yang berpenampilan sangar, berbahasa kasar tapi berhati sebening embun, selembut beludru, sehalus sutra, secerah surya, semulia emas.

Memang kita manusia sebagai makhluk lahir bathin sangat sulit menilai bathin dari bahasa, menilai hati dari rupa. Tapi toh dalam kaidah ushul fiqih juga disebutkan “fahkum bidzdzowahir wala tahkum bissarooir” putuskan kesimpulan dari lahiriyahnya dan jangan sebaliknya diputuskan dari bathiniyahnya. Hakim di pengadilan apapun pasti seperti itu memutuskan perkara berdasar alat bukti yang ada dan jelas.

Kermbali kepada masalah kepribadian dan budaya yang tercermin dari bahasa seseorang atau bahasa suatu bangsa. Seperti sering digaungkan dimana-mana bahwa bangsa kita – bangsa Indonesia – adalah bangsa yang terkenal dengan keramah-tamahannya, berbudaya tinggi yang tentunya berbahasa santun. Tak hanya itu bahkan sejarah mencatat para pendiri bangsa kita ketika berbicara dibanyak kesempatan di sidang PBB sangat mencengangkan, membuat terkagum-kagum banyak orang. Kenapa, karena kemampuan berbahasa Inggrisnya yang sangat pilihan, lebih halus daripada para bangsawan Inggris sekalipun. Bahasa adalah kendaraan untuk menyampaikan maksud tapi juga sekaligus mencerminkan budaya bangsa dan kepribadian seseorang, buktinya bangsa Indonesia yang usianya sangat belia sangat diperhitungkan, berkat perjuangan dan orasi orator sekelas Presiden Sukarno. Siapapun di negri ini dengan bangga berkata “Hidup Bung Karno”, “Sukarno, babe gue”,  “Sukarno.. dilawan..”.

Berbicara tentang bahasa, sebuah pertanyaan, siapakah pencipta kata dalam suatu bahasa? Jawabannya sangat kompleks yang intinya pencipta kata suatu bahasa adalah penggunanya itu sendiri. Sebuah kosa kata terucap dari mulut seseorang dan dimaklumi maksudnya, terus menyebar liar dari mulut ke mulut dimengerti artinya dan disetujui penggunaannya oleh banyak orang bahkan setelah berputarnya waktu. Maka jadilah kosa kata itu kekayaan sebuah bahasa. Dalam posisi seperti ini jelas terbayang oleh kita bahwa orang yang perkataannya banyak didengar oleh banyak orang seperti guru, para pejabat, artis, para mubaligh sangat bisa berperan dalam melahirkan sebuah kosa kata baru. Terlepas apakah kosa kata itu menggelikan ataupun jorok, tidak senonoh.

Sebuah pertanyaan lanjutan, santunnya suatu kalimat (perkataan) karena bahasanya ataukah karena pilihan katanya? Jawabannya sangat mudah tentu saja karena pilihan katanya. Jelasnya disini seorang pembicara santun pasti sangat mengerti diksi, pilihan kata. Sebab kesantunan juga menunjukan keterpelajaran seseorang, dan dalam masyarakat sosial kesantunan menunjukan keterhormatan seseorang. Lalu bagaimana fenomena kata tetek-bengek  yang banyak diucapkan bahkan oleh  publik pigur termasuk oleh guru dan orang-orang terhormat dan terpelajar lainnya. “Seharusnya saya sebagai direktur tidak perlu turun tangan mengurusi tetek-bengek ini, masa urusan tetek-bengek dapur harus diselesaikan oleh saya juga”. Kata tetek-bengek disini berarti semua hal, segala hal, seluruhnya. Padahal kata tetek-bengek kalau kita dekati, kita selusuri makna dasarnya tetek berarti susu atau payudara (binatang dan manusia). Sedang bengek berarti lembek, penyakit TBC (penyakit mengi; Bahasa Jawa). Sehingga tetek-bengek berarti susu atau payudara lembek, atau bisa juga susu atau payudara orang berpenyakit TBC.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana mungkin kemudian orang-orang yang terhormat, terpelajar masih memilih kata tetek-bengek, kosa kata yang vulgar berbau cabul ini ditempat umum. Padahal jelas makna asalnya sangat tidak senonoh. Apakah karena ketidaktahuan, ketidakpedulian, pelecehan, suka-suka saja, atau karena sebab lain. Padahal mungkin saja pencetusnya adalah preman pasar atau mungkin juga asalnya adalah sumpah serapah orang yang marah-marah. Lagi-lagi pertanyaannya mengapa kita mengikutinya dan menggunakan kata tetek-bengek dalam keseharian bahkan dalam acara formal. Mungkin ada kilah, kata majemuk memang seperti itu. Makna kata jadiannya selalu berubah dari makna dasarnya. Tapi kalau kita lihat untuk kata majemuk lain maknanya tidak sampai membawa-bawa organ tubuh yang tidak senonoh. Rumah sakit, terdiri dari kata rumah dan sakit. Sopan-sopan saja. Kamar mayat, terdiri dari kata kamar dan mayat, sopan tidak masalah. Tapi tetek-bengek, apa sopannya? Tetek kan organ tubuh yang tidak layak diperlihatkan dimuka umum. Walau mungkin ada sebagian warga disebagian suku tertentu tidak mempermasalahkan kebiasaan perempuan yang bertelanjang dada. Bahkan kata tetek diucapkannya juga saya yakin sebagian besar rakyat Indonesia akan berpaling  muka. Bahkan sebagian orang terutama perempuan memerah muka karena menahan malu ataupun alasan lainnya. Akhirnya nasib sebuah teori padat berisi penuh mutiara terlantarkan pada sebagian orang hanya karena kemasan bahasa yang menurutnya tidak berkenan.

Berikut beberapa responden yang dimintai komentarnya tentang kata tetek-bengek yang sebelumnya diberitahukan dulu makna dasarnya.

No
Nama
L/P
Usia
Komentar
Keterangan
1
Heri
L
9 thn
“Tidak sopan...!”
Siswa SD
kelas 3
2
Iwan
L
32 thn
“Kita ini korban pencetus kata tersebut, kata ini kadung sudah  ada tapi seharusnya orang terpelajar dan publik figur jangan menggunakannya”
Pegawai Foto Copy
3
Ayu
P
14 thn
“Tidak apa-apa.. tapi saya malu mendengarnya kalau ingat makna dasarnya. Saya sendiri tidak menggunakannya”.
Siswi SLTP
Kelas VIII
4
Aan
L
30 thn
“Tidak apa-apa, kita kan melihat makna jadiannya saja. Tidak perlu kita melihat kata majemuk dengan melihat makna dasarnya”
Guru SD
5
Nining
P
20 thn
“Pelecehan..!”
Penjahit
6
Kurbah
P
52 thn
“Pasti pencetusnya laki-laki, maksudnya sih bergurau tapi keterlaluan..”
Ibu Rumah Tangga

Tulisan ini  seperti hendak mendongkel batu sebesar rumah dengan sebatang lidi. Tulisan ini juga mungkin bagi para akademisi menganggapnya tidak ilmiah. Tapi seperti kata Aa Gym 3M; Mulailah dari hal kecil. Mulailah dari diri sendiri. Dan Mulailah saat ini juga.
Dan kepada para pengguna kata tetek-bengek, ketahuilah bahwa ketika menggunakannya maka ada beberapa orang yang memberi penilaian negatif terhadap anda. Mungkin penilaian yang sangat subjektif. Tapi apapun itu jelas ada beberapa audiens mulai meninggalkan anda.

Penulis : Satu Menit ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi

Artikel Menggugat Tetek Bengek ini dipublish oleh Satu Menit pada hari Jumat, 19 Oktober 2012. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 3 komentar: di postingan Menggugat Tetek Bengek
 

3 komentar:

  1. Raraosan-mah tektek bengek, sanes tetek bengek

    BalasHapus
  2. nteu Om.. tos naros ka mbah google, leres tetek bengek.. hehe

    BalasHapus
  3. Disunda mah tektek bengek bahasanamah
    Tektek ngartoskeun diwincik hiji"
    Bengek nepi kateu aya renghapapan akibat eungap.

    BalasHapus