Yang ingin menulis-menulislah, yang ingin bermusik-bermusiklah, yang ingin menyanyi-menyanyilah, yang ingin melukis-melukislah, yang ingin menari-menarilah, yang ingin apa saja kerjakanlah! Sebagaimana Robi'ah, Rumi, Walibah, hingga Dzunnun al-Mishri, Tak ada yang tabu, tak ada yang salah untuk menuju sudut Yang Satu, Melalui jalan manapun, Asal kau tempuh dengan ruh; bahwa yang tercatat adalah ilmu-Nya, yang berirama adalah instrumen-Nya, yang bersuara adalah anugrah-Nya, yang terlukis adalah keindahan-Nya, yang bergerak adalah kuasa-Nya, Maka jika kau ingin apa, kerjakanlah, asal kesemuanya bermuara lillahi ta'ala.

Bayang-Bayang Rembulan



Ini sebuah kisah kecil..
Tentang seorang muda yang diam di tempatnya.
Sebenarnya ia hampir tak muda lagi.
Begitu nyaman diberi kasih sayang yang berlebihan.
Tapi tidak begitu dengan hatinya.
Yang ia inginkan saat ini hanyalah terus berjalan.
Mendobrak pintu rumah yang begitu membelenggu.
Kemudian berlari.
Bermaksud mengganti langkah-langkah keterlambatannya.

Dan si pemuda ini masih diam...
Tak berjalan, apalagi berlari.
Hatinya tak tega meninggalkan sang bulan dalam rumah.
Yang seorang diri namun berbayang sebelas,
Aku salah satunya.
Hanya saja, tak hanya bayangannya,
Tapi rupa aslinya pun ada di dalam rumah.

Bingung melanda.
Ia tahu, bahwa kesuksesan diri didapat dari mengkristalnya keringat.
Akhirnya ia berlari di tempat.
Berharap akan ada keringat yang keluar.
Meski tak sehebat keringat orang-orang di luar pintu.
Namun tetap ia jenuh.
Tak melihat dunia luar pintu.

Pernah ia berhasil membuka kunci pintu,
Hendak mulai berlari pikirnya.
Namun ketika ia hendak keluar,
Sayup-sayup ia mendengar bisik-bisik dari sepuluh bayangan lainnya.
Biar ku bayar orang dari luar pintu untuk menjaga sang bulan, begitu ujar salah satu bayangan..
Namun bisik-bisik yang tak sengaja ia dengar alih-alih membuatnya memulai sprint panjangnya.
Ia terpukul oleh kata-kata itu.
Mengapa harus orang dari luar pintu yang menjaga sang bulan?
Mereka bukanlah bayang-bayang sang bulan.
Memalukan sekali.
Kemanakah bayangan yang sebelas itu.

Akhirnya ia diam.
Tak berlari, apalgi melakukan perlarian.
Ia pelan-pelan menggelondongkan bola salju tekadnya.
Berpuasa dari segala nafsu keinginan.
Berharap menjadi mutiara indah yang terkukung dalam kerang.
Agar jika suatu saat itu datang.
Ia bisa membuka pintu itu dengan elegan, tanpa paksaan.
Dan ketika ia keluar rumah.
Sebuah jet sengaja turun dari langit,
Terpukau oleh indahnya mutiara.
kemudian mengajak mutiara itu ikut serta.
Dan bermanuver indah menuju tujuan dengan begitu cepatnya.
Meninggalkan mereka yang berlari,

dan mereka yang berkendara.
 

Jeruk Seharga Dua Ribu Lima Ratus


Sekitar pukul  2 siang tadi, saat saya pulang dari kediaman Kakak ke-3 saya di daerah dekat pasar dan terminal, sambil tetap sarungan, sengaja saya mampir ke seorang penjaja buah jeruk mandarin, yang memang kebetulan ibu saya minta dibawakan buah tersebut.
“A, Jerukna sabarahaan?” tanyaku pada sang penjual yang secara umur masih terlihat muda.
“Dua puluh rebu sakilo, Jang.” Jawabnya.
aku bertanya lagi, “Pami hijian sabaraha a?”
“Dua rebu lima ratus, Jang”
“Wah, manawi teh sapuluh rebu kenging lima a” tawarku sambil tertawa kecil.
“Duh, teu acan kenging, Jang”. Tukasnya.
Aku yang memang punya pengalaman kurang mengenakan dengan tawar menawar dengan seorang penjual dulu, akhirnya tak memaksa lagi.
“Nya tos wios a, sapuluh rebueun we”. Sambil ku berikan uang sepuluh ribu.
Penjual tersebut menerima uang yang aku sodorkan dan mulai memasukan buah jeruk mandarin ke dalam kresek putih.
“Nu sae nya a.” Ujarku.
Ia tampak berfikir beberapa saat, padahal hanya untuk memilih 4 buah jeruk. Aku pun sibuk memandang sekeliling, barangkali ada yang mau di beli lagi.
“Ieu Jang.”
Aku menoleh hendak menerima kresek putih yang ia sodorkan.
Namun kemudian aku mengernyitkan dahi, “Atuh lima geuningan a.”
“Muhun, wios jang, candak wae.”
“Duh, haturnuhun atuh nya... sing berkah we rizqina atuh nya a..”
Sambil melangkah menuju motor, bahkan ketika perjalanan pulang, tak henti-hentinya saya tersenyum, serta mendoakan kebaikan bagi penjual tadi.

Kebanyakan dari kita memang memiliki kecenderungan merasa bahagia ketika diberi ketimbang memberi. Jika kita amati, memang secara lahir, ketika kita diberi sesuatu oleh seseorang maka apa yang kita miliki bertambah, dan ketika kita memberi sesuatu kepada orang lain, maka berkuranglah apa yang kita miliki. Namun secara bathin, ada perasaan lain yang membuat kita bahagia ketika kita memberi.


Termasuk diri saya, yang siang itu diberi satu buah jeruk seharga dua ribu lima ratus.  Doa-doa memohon kebaikan terus mengalir bagi si pemberi.