Sekitar pukul 2 siang tadi, saat saya pulang dari kediaman Kakak ke-3 saya di daerah dekat pasar dan terminal, sambil tetap sarungan, sengaja saya mampir ke seorang penjaja buah jeruk mandarin, yang memang kebetulan ibu saya minta dibawakan buah tersebut.
“A, Jerukna sabarahaan?” tanyaku
pada sang penjual yang secara umur masih terlihat muda.
“Dua puluh rebu sakilo, Jang.”
Jawabnya.
aku bertanya lagi, “Pami hijian
sabaraha a?”
“Dua rebu lima ratus, Jang”
“Wah, manawi teh sapuluh rebu
kenging lima a” tawarku sambil tertawa kecil.
“Duh, teu acan kenging, Jang”.
Tukasnya.
Aku yang memang punya pengalaman
kurang mengenakan dengan tawar menawar dengan seorang penjual dulu, akhirnya
tak memaksa lagi.
“Nya tos wios a, sapuluh rebueun
we”. Sambil ku berikan uang sepuluh ribu.
Penjual tersebut menerima uang
yang aku sodorkan dan mulai memasukan buah jeruk mandarin ke dalam kresek
putih.
“Nu sae nya a.” Ujarku.
Ia tampak berfikir beberapa saat,
padahal hanya untuk memilih 4 buah jeruk. Aku pun sibuk memandang sekeliling,
barangkali ada yang mau di beli lagi.
“Ieu Jang.”
Aku menoleh hendak menerima kresek
putih yang ia sodorkan.
Namun kemudian aku mengernyitkan
dahi, “Atuh lima geuningan a.”
“Muhun, wios jang, candak wae.”
“Duh, haturnuhun atuh nya... sing
berkah we rizqina atuh nya a..”
Sambil melangkah menuju motor,
bahkan ketika perjalanan pulang, tak henti-hentinya saya tersenyum, serta
mendoakan kebaikan bagi penjual tadi.
Kebanyakan dari kita memang
memiliki kecenderungan merasa bahagia ketika diberi ketimbang memberi. Jika
kita amati, memang secara lahir, ketika kita diberi sesuatu oleh seseorang maka
apa yang kita miliki bertambah, dan ketika kita memberi sesuatu kepada orang
lain, maka berkuranglah apa yang kita miliki. Namun secara bathin, ada perasaan
lain yang membuat kita bahagia ketika kita memberi.
Termasuk diri saya, yang siang itu
diberi satu buah jeruk seharga dua ribu lima ratus. Doa-doa memohon kebaikan terus mengalir bagi
si pemberi.
Nginspirasi
BalasHapus