Rasa sakit kadang ada bukan untuk memberi penderitaan pada si pesakitan, tapi ada yang lebih berharga dari sekedar penderitaan, namun juga pelajaran.
Dulu, mungkin sekitar 10 tahun yang
lalu. Di sebuah pondok pesantren di daerah terpencil, di balik Gunung Tampomas.
Seorang remaja lulusan SMP memulai pendidikannya untuk belajar agama lebih
mendalam. Di tahun pertama, tak seperti teman-temannya yang lain, ia tidak
bersekolah karena alasan ekonomi. Ia hanya berstatus sebagai santri takhasus.
Ia begitu pendiam, hingga
rutinitas kesehariannya pun tak lepas hanya di empat tempat, di kobongnya
(lantai atas), mesjid pesantren ketika menghafal dan belajar, kolah atau kamar
mandi tempat ia bersuci dan rumah seorang ustadzah tempat ia makan.
Remaja ini cukup berseka dalam
kesehariannya, di kobongnya, ia terbiasa membereskan kamar sebesar ruangan
kelas yang dihuni oleh lebih dari 20 orang, yang setiap hari pasti berantakan.
Mandi pun dalam sehari bisa sampai 4 kali, yaitu sebelum shubuh, setelah
mengaji pagi (pukul 7), sebelum dzuhur dan sebelum maghrib.
Namun seberseka apapun, tetap saja
remaja ini terkena penyakit yang sering diderita oleh para santri, yakni
penyakit budug (gatal-gatal) di beberapa bagian tubuhnya. Hanya saja karena
apiknya pakaian, selama penyakit gatal-gatal itu menjamah tubuhnya,
teman-temannya tak ada yang tahu.
Tak sebentar penyakit ini
bersarang, mungkin terhitung sekitar dua bulan remaja ini mengalami
gatal-gatal, salah satunya pada bagian jari manis dan jari kelingking pada
tangan kanannya. Dan otomatis, ia harus berhati-hati ketika melakukan segala
hal serta menyentuh apapun disekitarnya, termasuk ketika makan.
Begitulah, hikmah kehidupan seringkali tak terduga mengarah kemana. Sebuah jawaban muncul karena hadirnya pertanyaan.
0 komentar:
Posting Komentar