Yang ingin menulis-menulislah, yang ingin bermusik-bermusiklah, yang ingin menyanyi-menyanyilah, yang ingin melukis-melukislah, yang ingin menari-menarilah, yang ingin apa saja kerjakanlah! Sebagaimana Robi'ah, Rumi, Walibah, hingga Dzunnun al-Mishri, Tak ada yang tabu, tak ada yang salah untuk menuju sudut Yang Satu, Melalui jalan manapun, Asal kau tempuh dengan ruh; bahwa yang tercatat adalah ilmu-Nya, yang berirama adalah instrumen-Nya, yang bersuara adalah anugrah-Nya, yang terlukis adalah keindahan-Nya, yang bergerak adalah kuasa-Nya, Maka jika kau ingin apa, kerjakanlah, asal kesemuanya bermuara lillahi ta'ala.

Meredam Badai Hati.


Hari yang tidak begitu panas, udara yang sejuk menyentuh menyapa setiap jiwa yang ia lewati. Matahari yang membiarkan dirinya tidak menyengat insan-insan dunia membuat suasana bumi terasa lebih nyaman bagi sebagian manusia. Dalam sebuah ruang aku termenung dengan diri yang biasa namun dalam atmosfer pemikiran yang tak biasa. Sungguh dalam sadar ku menyadar akan segala yang berlalu, yang berjalan dan yang akan ku tempuh semua adalah sebuah misteri yang entah dimana aku bisa menemukan rumus-rumus pembandingnya. Sampai apa yang ada dalam relung hati ini pun seakan tidak bisa aku bahasakan dengan untaian kata-kata untuk memebentuk bait-bait kalimat. Meski demikian akan ku coba dengan segenap rasa dan karsa yang ada dalam diri dan jiwa ini untuk mengejawantahkannya.

Berawal dari yang serba biasa. Bumi, air, udara pepohonan dan semua yang hadir di sekitarku adalah biasa adanya. Detik, menit, jam, hari terus hingga tahun berganti tahun kulewati dengan aktivitas dan suasana hati yang tidak di luar kebiasaan. Namun semua itu terasa berbeda, ya sebuah perbedaan yang justru muncul dari keterbiasaan yang selalu menemaniku. Sebuah “usikan” yang kembali membuat hari-hariku menjadi tak biasa. Ya luar biasa, benar-benar di luar kebiasaan. Segenap ruang waktu yang telah, sedang dan yang akan kulewati penuh dengan harap, angan dan mimpi akan “cita dan cinta” serta resah yang sulit untuk di gambarkan. Entah bagaimana itu bermula, mungkin dari sebuah titik yang agak terasa rumit untuk aku jelaskan. Bulan terus beranjak silih berganti mengiring suasana hati yang seakan terus bertaburan tanaman bunga, yang entah bagaimana mereka tumbuh subur dan semakin subur layaknya jamur di musim penghujan.

Pertemuan demi pertemuan, tatapan demi tatapan semakin memebuat mata ini, mata hati ini melek akan dirinya. Ya dirinya yang kutemukan dalam keterbiasaanku bersama diri dan alam sekitarku. Kelembutannya, kebijaksanaannya, kecerdasannya dan terlebih keasabarannya begitu mengetuk,, tok, tok, tok.. pada daun pintu dalam hatiku. Dan mungkin itu semua yang mampu menyirami tanaman-tanaman bungaku. Aku sering tertegun akan keanggunannya. Senyum dengan lesung pipinya seakan menghadirkan udara pegunungan yang begitu sejuk menembus ari dalam kulit. Tawanya mampu mengusir sepi dalam senyap diri. Candanya yang terkadang manja membuatku juga terkadang ingin mencubit pipi lesungnya yang manis. Ah ngayal......

Pucuk di dahan ular pun datang, terjatuhlah aku karena kaget. ^_^ . bukan itu maksudku, “pucuk di cinta ulam pun tiba,, nah itu dia. Harapku tak bertepuk sebelah kaki ups.. tangan. Dalam rentang waktu yang agak sedikit panjang ternyata rasaku berbalas, ^_^  . Jujur kukatakan, awalnya hati ini sempat ragu akan dirinya. Apa iya,, seorang “dia” mau untuk memebuka pintu hati dan mempersilahkan diriku untuk masuk dan menghiasinya dengan warna-warni tinta hidupku, atau setidaknya hanya mampir dan memberi sebuah jejak dari tapak-tapak skenario perjalananku. Dan pada hari itu di mana tawaranku terkabulkan. Ya tawaran akan sebuah nilai sejarah yang dimiliki kota wali “Cirebon”, menjadi hari yang bersejarah. Jum’at. Di mana aku menemukan sedikit kesimpulan akan tanya dan anganku. (logika) Seorang “dia” terkalahkan oleh perasaannya, antara yakin dan ragu rasioku berani menyimpulkan “jika logika seorang perempuan sudah tergeser oleh perasaannya, maka di hatinya pastilah ada a crazy little thing called love. Dan untuk semua itu, diriku memohonkan berjuta maaf. Maafkan pemuda yang kurang berbudi ini, yang telah membuat air yang sebening embun jatuh dari sudut mata indahnya berlinang membasahi pipi lesungnya. Sungguh saat itu aku bingung dan tak tega mendengar isaknya yang tak kunjung henti, membawaku dalam ketidakmengertian. Apakah keterusterangan perasaanku padanya yang membuat ia berlinang air mata, namun ternyata bukan. Ia hanya hanya menyesali kekhilafannya, itu saja. Menit bergulir akhirnya isaknya terhenti, lega hatiku. Kembali tersenyum – tertawa.

Tangis yang berakhir senyum. Terjawab,..! meski tanpa ada “ya” yang terlontar dari kedua bibirnya. Meski hanya ada diam yang ia sambung dengan sebuah kata “Nyaman”. Benar-benar membuat panas setahun hujan sehari. Proses yang terasa sangat melelahkan. 00.00-03.00 WIB, itulah rentang waktu dalam ke-basa-basi-an rangkaian kata dalam penemuan kata “Nyaman”. Sungguh dramatis. Antara sadar dan tidak, antara terjaga dan mimpi. Semuanya tidak ada yang tidak mungkin. Karena Cinta adalah Anugerah yang bisa diminta namun tak bisa ditolak.

Indah... setelah hujan sehari, bahtera pun siap untuk berlayar. Namun entah kenapa (tanyaku dan dia) belum satu hari pun layar berkembang badai pun datang menghadang. Angin kekhawatiran yang disusul mendung dan kabut ketakutan menjelma menjadi sebuah badai dalam pelayaran seorang nakhoda yang masih belia dengan membawa seorang putri dari negeri impian. Haruskah sang nakhoda membiarkan bahteranya karam dan membiarkan sang putri terombang-ambing terbawa badai, sungguh malang nasibmu putri.  Maafkan aku putri, Aku benar-benar nakhoda yang tak piawai.

Badai..? apakah benar itu sebuah badai, putri?. Apakah tak pernah terlintas dalam benakmu, mungkin di sebrang sana setelah badai berlalu kau akan menemukan pulau yang indah dengan berbagai pohon dan pantainya yang begitu memukau, batu karang yang tampak karena kejernihan airnya dan kau akan menemukan kerang yang di dalamnya terdapat mutiara yang berkilau..?. atau Apa kau akan tetap yakin pada sang nakhoda dan bahteranya yang terus terapung terombang-ambing di atas deburan ombak sampai ia menemukan sebuah daratan untuk ia bisa menepikan diri dan bahteranya. Siapkah dirimu untuk mengarungi ganasnya laut kehidupan, bersama dalam pahit, perih, bahkan sengsara demi mencapai daratan impian???.

Harap dan angan ku masih tetap berdiri meski tak sekokoh sedia kala, sebelum semua terjadi begitu singkat. Sungguh terasa lebih singkat melebihi kecepatan cahaya. Semua ini benar-benar tak bisa terelakkan, sungguh hanya kekuatan doa yang masih tersisa.

Ya Allah…
Aku hanyalah hambamu yang payah
Yang selalu mengeluh dan mendesah
Meski asa dan daya sudah ku kerah
Sempat juga aku berpikir untuk menyerah
Cukuplah aku berkeluh kesah
Kini aku hanyalah bisa berpasrah                           
Dalam harap dan doaku menengadah.

(Sebuah Catatan Seorang Ibnu)





Penulis : Satu Menit ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi

Artikel Meredam Badai Hati. ini dipublish oleh Satu Menit pada hari Kamis, 15 November 2012. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 1komentar: di postingan Meredam Badai Hati.
 

1 komentar:

  1. Hehe....
    Kisahnya seperti kisahku,
    Seperti Kalahnya seorang Fadhil terhadap Tiara dalam Ayat-ayat Cinta.

    Tragis, namun penuh hikmah

    BalasHapus