Hari
yang tidak begitu panas, udara yang sejuk menyentuh menyapa setiap jiwa yang ia
lewati. Matahari yang membiarkan dirinya tidak menyengat insan-insan dunia
membuat suasana bumi terasa lebih nyaman bagi sebagian manusia. Dalam sebuah
ruang aku termenung dengan diri yang biasa namun dalam atmosfer pemikiran yang
tak biasa. Sungguh dalam sadar ku menyadar akan segala yang berlalu, yang
berjalan dan yang akan ku tempuh semua adalah sebuah misteri yang entah dimana
aku bisa menemukan rumus-rumus pembandingnya. Sampai apa yang ada dalam relung
hati ini pun seakan tidak bisa aku bahasakan dengan untaian kata-kata untuk
memebentuk bait-bait kalimat. Meski demikian akan ku coba dengan segenap rasa
dan karsa yang ada dalam diri dan jiwa ini untuk mengejawantahkannya.
Berawal dari yang serba biasa. Bumi, air,
udara pepohonan dan semua yang hadir di sekitarku adalah biasa adanya. Detik,
menit, jam, hari terus hingga tahun berganti tahun kulewati dengan aktivitas
dan suasana hati yang tidak di luar kebiasaan. Namun semua itu terasa berbeda,
ya sebuah perbedaan yang justru muncul dari keterbiasaan yang selalu
menemaniku. Sebuah “usikan” yang kembali membuat hari-hariku menjadi tak biasa.
Ya luar biasa, benar-benar di luar kebiasaan. Segenap ruang waktu yang telah,
sedang dan yang akan kulewati penuh dengan harap, angan dan mimpi akan “cita
dan cinta” serta resah yang sulit untuk di gambarkan. Entah bagaimana itu
bermula, mungkin dari sebuah titik yang agak terasa rumit untuk aku jelaskan. Bulan
terus beranjak silih berganti mengiring suasana hati yang seakan terus
bertaburan tanaman bunga, yang entah bagaimana mereka tumbuh subur dan semakin
subur layaknya jamur di musim penghujan.
Pertemuan demi pertemuan, tatapan demi tatapan semakin memebuat mata ini,
mata hati ini melek akan dirinya. Ya dirinya yang kutemukan dalam
keterbiasaanku bersama diri dan alam sekitarku. Kelembutannya,
kebijaksanaannya, kecerdasannya dan terlebih keasabarannya begitu mengetuk,,
tok, tok, tok.. pada daun pintu dalam hatiku. Dan mungkin itu semua yang mampu
menyirami tanaman-tanaman bungaku. Aku sering tertegun akan keanggunannya.
Senyum dengan lesung pipinya seakan menghadirkan udara pegunungan yang begitu
sejuk menembus ari dalam kulit. Tawanya mampu mengusir sepi dalam senyap diri.
Candanya yang terkadang manja membuatku juga terkadang ingin mencubit pipi
lesungnya yang manis. Ah ngayal......
Pucuk di dahan ular pun datang, terjatuhlah aku karena kaget. ^_^ . bukan
itu maksudku, “pucuk di cinta ulam pun tiba,, nah itu dia. Harapku tak bertepuk
sebelah kaki ups.. tangan. Dalam rentang waktu yang agak sedikit panjang
ternyata rasaku berbalas, ^_^ . Jujur
kukatakan, awalnya hati ini sempat ragu akan dirinya. Apa iya,, seorang “dia”
mau untuk memebuka pintu hati dan mempersilahkan diriku untuk masuk dan
menghiasinya dengan warna-warni tinta hidupku, atau setidaknya hanya mampir dan
memberi sebuah jejak dari tapak-tapak skenario perjalananku. Dan pada hari itu
di mana tawaranku terkabulkan. Ya tawaran akan sebuah nilai sejarah yang
dimiliki kota wali “Cirebon”, menjadi hari yang bersejarah. Jum’at. Di mana aku
menemukan sedikit kesimpulan akan tanya dan anganku. (logika) Seorang “dia”
terkalahkan oleh perasaannya, antara yakin dan ragu rasioku berani menyimpulkan
“jika logika seorang perempuan sudah tergeser oleh perasaannya, maka di hatinya
pastilah ada “a crazy little thing called love”. Dan untuk semua
itu, diriku memohonkan berjuta maaf. Maafkan pemuda yang kurang berbudi ini,
yang telah membuat air yang sebening embun jatuh dari sudut mata indahnya
berlinang membasahi pipi lesungnya. Sungguh saat itu aku bingung dan tak tega
mendengar isaknya yang tak kunjung henti, membawaku dalam ketidakmengertian.
Apakah keterusterangan perasaanku padanya yang membuat ia berlinang air mata,
namun ternyata bukan. Ia hanya hanya menyesali kekhilafannya, itu saja. Menit
bergulir akhirnya isaknya terhenti, lega hatiku. Kembali tersenyum – tertawa.
Tangis yang berakhir senyum. Terjawab,..!
meski tanpa ada “ya” yang terlontar dari kedua bibirnya. Meski hanya ada diam
yang ia sambung dengan sebuah kata “Nyaman”. Benar-benar membuat panas setahun
hujan sehari. Proses yang terasa sangat melelahkan. 00.00-03.00 WIB, itulah
rentang waktu dalam ke-basa-basi-an rangkaian kata dalam penemuan kata
“Nyaman”. Sungguh dramatis. Antara sadar dan tidak, antara terjaga dan mimpi. Semuanya
tidak ada yang tidak mungkin. Karena Cinta adalah Anugerah yang bisa
diminta namun tak bisa ditolak.
Indah... setelah hujan sehari, bahtera pun
siap untuk berlayar. Namun entah kenapa (tanyaku dan dia) belum satu hari pun
layar berkembang badai pun datang menghadang. Angin kekhawatiran yang disusul
mendung dan kabut ketakutan menjelma menjadi sebuah badai dalam pelayaran
seorang nakhoda yang masih belia dengan membawa seorang putri dari negeri
impian. Haruskah sang nakhoda membiarkan bahteranya karam dan membiarkan sang
putri terombang-ambing terbawa badai, sungguh malang nasibmu putri. Maafkan aku putri, Aku benar-benar nakhoda
yang tak piawai.
Badai..? apakah benar itu sebuah badai,
putri?. Apakah tak pernah terlintas dalam benakmu, mungkin di sebrang sana
setelah badai berlalu kau akan menemukan pulau yang indah dengan berbagai pohon
dan pantainya yang begitu memukau, batu karang yang tampak karena kejernihan
airnya dan kau akan menemukan kerang yang di dalamnya terdapat mutiara yang
berkilau..?. atau Apa kau akan tetap yakin pada sang nakhoda dan bahteranya
yang terus terapung terombang-ambing di atas deburan ombak sampai ia menemukan
sebuah daratan untuk ia bisa menepikan diri dan bahteranya. Siapkah dirimu
untuk mengarungi ganasnya laut kehidupan, bersama dalam pahit, perih, bahkan
sengsara demi mencapai daratan impian???.
Harap
dan angan ku masih tetap berdiri meski tak sekokoh sedia kala, sebelum semua
terjadi begitu singkat. Sungguh terasa lebih singkat melebihi kecepatan cahaya.
Semua ini benar-benar tak bisa terelakkan, sungguh hanya kekuatan doa yang
masih tersisa.
Ya Allah…
Aku hanyalah hambamu yang payah
Yang selalu mengeluh dan mendesah
Meski asa dan daya sudah ku kerah
Sempat juga aku berpikir untuk menyerah
Cukuplah aku berkeluh kesah
Kini aku hanyalah bisa berpasrah
Dalam harap dan doaku menengadah.
(Sebuah Catatan Seorang Ibnu)
(Sebuah Catatan Seorang Ibnu)
Hehe....
BalasHapusKisahnya seperti kisahku,
Seperti Kalahnya seorang Fadhil terhadap Tiara dalam Ayat-ayat Cinta.
Tragis, namun penuh hikmah