"Barang siapa
yang bermimpi melihatku, maka dia melihatku karena setan tidak akan bisa
menyerupai diriku." (Hadis)
"Alangkah
miskinnya seorang murid jika gurunya hanya orang-orang hidup atau manusia
biasa".
Suatu saat Imam
al-Gazali ditanya muridnya perihal banyaknya hadis ahad atau hadis tak populer
yang dikutip dalam kitabnya,Ihya' 'Ulum al-Din. Lalu, al-Ghazali menjawab, dirinya
tak pernah mencantumkan sebuah hadis dalam Ihya' tanpa
mengonfirmasikan kebenarannya kepada Rasulullah.
Jika ada lebih dari
200 hadis dikutip di dalam kitab itu, berarti lebih 200 kali Imam al-Gazali
berjumpa dengan Rasulullah. Padahal, Imam al-Ghazali hidup pada 450 H/1058 M
hingga 505 H/1111 M, sedangkan Rasulullah wafat tahun 632 M. Berarti, masa
hidup antara keduanya terpaut lima abad.
Kitab Ihya' yang
terdiri atas empat jilid itu ditulis di menara Masjid Damaskus, Suriah, yang
sunyi dari hiruk pikuk manusia. Pengalaman lain, Ibnu 'Arabi juga pernah
ditanya muridnya tentang kitabnya, Fushush al-Hikam. Setiap kali sang murid
membaca pasal yang sama dalam kitab itu selalu saja ada inspirasi baru.
Menurutnya,
kitab Fushush bagaikan
mata air yang tidak pernah kering. Ibnu 'Arabi menjawab, kitab itu termasuk
judulnya dari Rasulullah yang diberikan melalui mimpi. Dalam mimpi itu,
Rasulullah mengatakan, "Khudz hadzal kitab, Fushush al-Hikam (ambil kitab
ini, judulnya Fushush al-Hikam)."
Kitab Jami' Karamat
al-Auliya' karangan Syekh Yusuf bin Isma'il al-Nabhani, sebanyak dua jilid,
mengulas sekitar 625 tokoh/ulama yang memiliki karamah, yaitu pengalaman luar
biasa mulai dari sahabat nabi hingga tokoh abad ke-19.
Sayang, di dalamnya
tidak dimasukkan sejumlah orang yang dapat dikategorikan sebagai wali yang
berasal dari Indonesia. Seperti beberapa ulama yang tergabung di dalam Wali
Songo. Dalam kitab ini, subhanallah, ternyata pengalaman batin dan spiritual
hamba Allah SWT berbeda-beda.
Umumnya mereka sudah
berada di atas maqam yang lebih tinggi atau di atas rata-rata. Ternyata alam
gaib bagi setiap orang tidak sama. Ada yang masih tebal dan ada yang sudah
transparan (mukasyafah).
Bagi mereka yang sudah berada di tingkatmukasyafah, sudah bisa berkomunikasi lintas alam.
Mereka seperti hidup
di alam yang bebas dimensi, tidak lagi terikat dengan ruang dan waktu. Mereka
bisa berkomunikasi interaktif dengan makhluk dan para penghuni alam lain, baik
di alam malakut, alam jabarut, maupun alam barzakh lainnya. Sulit mengatakan
apa yang diungkapkan dalam kitab Jami' Karamat al-Auliya' itu mitos atau bohong.
Sebab, Allah dalam
sejumlah ayat ditambah hadis-hadis Rasulullah menekankan adanya kemungkinan
hamba-hamba Tuhan yang memiliki kemampuan untuk mengakses apa yang disebut
William C Chittick sebagai The Imaginal Worlds. Menurut istilah Imam al-Ghazali,
itu disebut sebagai alam hayal atau alam mitsal, seperti
istilah Ibnu 'Arabi.
Dari sisi ini,
muncul pernyataan bahwa alangkah miskinnya seorang murid jika gurunya hanya
orang-orang hidup atau hanya manusia biasa. Bahkan, Chittick, pengagum Ibnu
Arabi, menemukan bukti-bukti dalam kita Futuhat al-Makkiyah (4 jilid) karya Ibnu Arabi
mengatakan, "The person with whom he met had lived many thousands of
years before." (Orang yang pernah dijumpai (Ibnu Arabi)
hidup ribuan tahun silam).
Singkat cerita, Ibnu
Arabi pernah menjumpai seseorang yang memperkenalkan diri telah hidup 40 tahun.
Ibnu Arabi mengatakan, bagaimana mungkin, Nabi Adam saja belum hidup ketika
itu. Lalu orang itu mengatakan, Adam yang mana, sambil mengingatkannya pada
hadis Nabi Muhammad, "Innallaha lhalaqa miata alaf Adam" (Sesungguhnya
Allah telah menciptakan 100.000 Adam). (Lihat Futuhat, jilid III, h.
459).
Orang-orang yang
memiliki batin bersih setelah menempuh suluk, mujahadah, dan riyadhah, maka
sangat berpeluang bisa menjalin komunikasi interaktif dengan para penghuni
alam-alam lain. Termasuk kemampuan berkomunikasi atau belajar dari arwah
para auliya' dan
arwah kekasih Tuhan lainnya.
Di dalam sebuah
hadis disebutkan, "Seandainya bukan karena dosa yang menutupi kalbu Bani Adam,
niscaya mereka menyaksikan malaikat di langit." (HR Ahmad
dari Abi Hurairah). Sebaliknya, penghuni makhluk cerdas alam lain, yang
diistilahkan dalam Alquran man fi al-sama', juga bisa menyaksikan hamba-hamba
kekasih Tuhan di bumi sebagaimana dinyatakan Rasulullah, "Sesungguhnya
para penghuni langit mengenal penghuni bumi yang selalu mengingat dan berzikir
kepada Allah bagaikan bintang yang bersinar di langit."
Dalam Alquran
dinyatakan dalam ayat, "Untuk mereka kabar gembira waktu mereka hidup di dunia dan
di akhirat." (QS Yunus/10:64). Para ulama tafsir
mengomentari ayat ini sesuai dengan pengalaman sahabat Nabi Muhammad, Abu
Darda', yang menanyakan apa maksud ayat ini.
Rasulullah
menjelaskan, "Yang dimaksud ayat ini ialah mimpi baik yang dilihat atau
diperlihatkan Allah SWT kepadanya."Dalam ayat lain lebih jelas
lagi Allah berfirman, "Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang)
jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya." (QS
al-Zumar/39:42).
Dalam kita-kitab
tafsir Isyari, ayat ini mendapatkan komentar panjang bahwa di waktu tidur orang
bisa mendapatkan banyak pencerahan. Bahkan, dalam Alquran juga menunjukkan
kepada kita sejumlah syariat dibangun di atas mimpi (al-manam),
seperti perintah ibadah kurban (QS al-Shafat/37:102).
Dari uraian di atas,
dapat disimpulkan bahwa berkomunikasi dan sekaligus belajar kepada para
penghuni alam lain sangat dimungkinkan oleh orang-orang yang telah sampai
kepada maqam tertentu. Namun, kita perlu hati-hati bahwa sehebat apa pun ilmu
dan inspirasi yang diperoleh seseorang tetap tidak boleh menyetarakan diri
dengan Nabi Muhammad sebagai khatamun nubuwwah.
Kehati-hatian lain
ialah jangan sampai bisikan setan dianggap bisikan suci dari penghuni alam
lain. Oleh karena itu, Imam al-Gazali pernah mewanti-wanti, jika ada orang
menjalani suluk tanpa syekh atau mursyid, dikhawatirkan setan yang akan
membimbingnya
(Republika)