Yang ingin menulis-menulislah, yang ingin bermusik-bermusiklah, yang ingin menyanyi-menyanyilah, yang ingin melukis-melukislah, yang ingin menari-menarilah, yang ingin apa saja kerjakanlah! Sebagaimana Robi'ah, Rumi, Walibah, hingga Dzunnun al-Mishri, Tak ada yang tabu, tak ada yang salah untuk menuju sudut Yang Satu, Melalui jalan manapun, Asal kau tempuh dengan ruh; bahwa yang tercatat adalah ilmu-Nya, yang berirama adalah instrumen-Nya, yang bersuara adalah anugrah-Nya, yang terlukis adalah keindahan-Nya, yang bergerak adalah kuasa-Nya, Maka jika kau ingin apa, kerjakanlah, asal kesemuanya bermuara lillahi ta'ala.

Meretas Jalan Berliku


Peristiwa subuh getarkan hati ini
Saat telinga mendengar kumandang adzan
Merdu membahana memecah semesta
Keheningan tersingkap oleh alunan lafadznya
Bersujud menyungkur keharibaan-Nya
Tanda bersyukur atas segala ni’mat-Nya
Lafadzkan tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil pada-Nya
Untuk senantiasa mengingat-Nya

Ku sambut mentari yang menyapa
Dengan senyumku yang terbuka
Untuk menyingkap segala yang hampa
Agar  tertatap hari yang bermakna
Hari dimana aku melakukan segala
Menjelajah waktu yang berputar seperti roda

Meski kini aku hidup dalam bayang kenangan
Kenangan yang terkubur dalam angan
Namun aku tetap mencoba tuk bertahan
Bertahan dari segala ketidakpastian
Dan masa lalu yang terus beriringan

Jejak-jejak sejarah menjadi kadang dan terkadang
Ya kadang senang terkadang bimbang
Kadang Indah terasa, saat semuanya terbayang
Terbalut dalam angan yang melayang
Dan itu begitu sulit untuk terbuang
Semuanya tetap terikat bagai layang-layang

Kadang itu terasa sangat pahit
Langkahku seakan semakin sulit
Sekelilingku terasa terus menghimpit
Sungguh aku tak bisa untuk berkelit
Semua sudut pandangan seakan menyempit
Oh betapa ini terasa menggepit

Meski semua harapan terasa pupus
Relung hati ini tetap tak kuasa menghapus
Bayang itu menhias bagai bintang yang bergugus
Dalam langit malam yang menghapus
Waktu pun terus menggerus
Membuat sisa umurku menjadi hangus
Namun aku tetap berdiri tanpa berputus

Apakah semuanya masih mungkin
Aku mulai merasa tidak yakin
Karena semuanya kini terasa hampa dan dingin
Haruskah aku pergi dari ingin
Atau menganggap semuanya seperti angin
Atau tetap menyimpannya dalam batin


Ah siapa juga aku ini
Mungkin aku hanya sebuah duri
Yang terus menusuk dan melukai
Sungguh aku tak ingin menyakiti
Karena paksaan tak bisa menekan hati
Karena hati adalah sesuatu yang sakti
Dan itu adalah sebuah bukti.

Ya Allah…
Aku hanyalah hambamu yang payah
Yang selalu mengeluh dan mendesah
Meski asa dan daya sudah ku kerah
Sempat juga aku berpikir untuk menyerah
Cukuplah aku berkeluh kesah
Kini aku hanyalah bisa berpasrah
Dalam harap dan doaku menengadah.

      “ Catatan seorang Ibnu”  
   


 

Meredam Badai Hati.


Hari yang tidak begitu panas, udara yang sejuk menyentuh menyapa setiap jiwa yang ia lewati. Matahari yang membiarkan dirinya tidak menyengat insan-insan dunia membuat suasana bumi terasa lebih nyaman bagi sebagian manusia. Dalam sebuah ruang aku termenung dengan diri yang biasa namun dalam atmosfer pemikiran yang tak biasa. Sungguh dalam sadar ku menyadar akan segala yang berlalu, yang berjalan dan yang akan ku tempuh semua adalah sebuah misteri yang entah dimana aku bisa menemukan rumus-rumus pembandingnya. Sampai apa yang ada dalam relung hati ini pun seakan tidak bisa aku bahasakan dengan untaian kata-kata untuk memebentuk bait-bait kalimat. Meski demikian akan ku coba dengan segenap rasa dan karsa yang ada dalam diri dan jiwa ini untuk mengejawantahkannya.

Berawal dari yang serba biasa. Bumi, air, udara pepohonan dan semua yang hadir di sekitarku adalah biasa adanya. Detik, menit, jam, hari terus hingga tahun berganti tahun kulewati dengan aktivitas dan suasana hati yang tidak di luar kebiasaan. Namun semua itu terasa berbeda, ya sebuah perbedaan yang justru muncul dari keterbiasaan yang selalu menemaniku. Sebuah “usikan” yang kembali membuat hari-hariku menjadi tak biasa. Ya luar biasa, benar-benar di luar kebiasaan. Segenap ruang waktu yang telah, sedang dan yang akan kulewati penuh dengan harap, angan dan mimpi akan “cita dan cinta” serta resah yang sulit untuk di gambarkan. Entah bagaimana itu bermula, mungkin dari sebuah titik yang agak terasa rumit untuk aku jelaskan. Bulan terus beranjak silih berganti mengiring suasana hati yang seakan terus bertaburan tanaman bunga, yang entah bagaimana mereka tumbuh subur dan semakin subur layaknya jamur di musim penghujan.

Pertemuan demi pertemuan, tatapan demi tatapan semakin memebuat mata ini, mata hati ini melek akan dirinya. Ya dirinya yang kutemukan dalam keterbiasaanku bersama diri dan alam sekitarku. Kelembutannya, kebijaksanaannya, kecerdasannya dan terlebih keasabarannya begitu mengetuk,, tok, tok, tok.. pada daun pintu dalam hatiku. Dan mungkin itu semua yang mampu menyirami tanaman-tanaman bungaku. Aku sering tertegun akan keanggunannya. Senyum dengan lesung pipinya seakan menghadirkan udara pegunungan yang begitu sejuk menembus ari dalam kulit. Tawanya mampu mengusir sepi dalam senyap diri. Candanya yang terkadang manja membuatku juga terkadang ingin mencubit pipi lesungnya yang manis. Ah ngayal......

Pucuk di dahan ular pun datang, terjatuhlah aku karena kaget. ^_^ . bukan itu maksudku, “pucuk di cinta ulam pun tiba,, nah itu dia. Harapku tak bertepuk sebelah kaki ups.. tangan. Dalam rentang waktu yang agak sedikit panjang ternyata rasaku berbalas, ^_^  . Jujur kukatakan, awalnya hati ini sempat ragu akan dirinya. Apa iya,, seorang “dia” mau untuk memebuka pintu hati dan mempersilahkan diriku untuk masuk dan menghiasinya dengan warna-warni tinta hidupku, atau setidaknya hanya mampir dan memberi sebuah jejak dari tapak-tapak skenario perjalananku. Dan pada hari itu di mana tawaranku terkabulkan. Ya tawaran akan sebuah nilai sejarah yang dimiliki kota wali “Cirebon”, menjadi hari yang bersejarah. Jum’at. Di mana aku menemukan sedikit kesimpulan akan tanya dan anganku. (logika) Seorang “dia” terkalahkan oleh perasaannya, antara yakin dan ragu rasioku berani menyimpulkan “jika logika seorang perempuan sudah tergeser oleh perasaannya, maka di hatinya pastilah ada a crazy little thing called love. Dan untuk semua itu, diriku memohonkan berjuta maaf. Maafkan pemuda yang kurang berbudi ini, yang telah membuat air yang sebening embun jatuh dari sudut mata indahnya berlinang membasahi pipi lesungnya. Sungguh saat itu aku bingung dan tak tega mendengar isaknya yang tak kunjung henti, membawaku dalam ketidakmengertian. Apakah keterusterangan perasaanku padanya yang membuat ia berlinang air mata, namun ternyata bukan. Ia hanya hanya menyesali kekhilafannya, itu saja. Menit bergulir akhirnya isaknya terhenti, lega hatiku. Kembali tersenyum – tertawa.

Tangis yang berakhir senyum. Terjawab,..! meski tanpa ada “ya” yang terlontar dari kedua bibirnya. Meski hanya ada diam yang ia sambung dengan sebuah kata “Nyaman”. Benar-benar membuat panas setahun hujan sehari. Proses yang terasa sangat melelahkan. 00.00-03.00 WIB, itulah rentang waktu dalam ke-basa-basi-an rangkaian kata dalam penemuan kata “Nyaman”. Sungguh dramatis. Antara sadar dan tidak, antara terjaga dan mimpi. Semuanya tidak ada yang tidak mungkin. Karena Cinta adalah Anugerah yang bisa diminta namun tak bisa ditolak.

Indah... setelah hujan sehari, bahtera pun siap untuk berlayar. Namun entah kenapa (tanyaku dan dia) belum satu hari pun layar berkembang badai pun datang menghadang. Angin kekhawatiran yang disusul mendung dan kabut ketakutan menjelma menjadi sebuah badai dalam pelayaran seorang nakhoda yang masih belia dengan membawa seorang putri dari negeri impian. Haruskah sang nakhoda membiarkan bahteranya karam dan membiarkan sang putri terombang-ambing terbawa badai, sungguh malang nasibmu putri.  Maafkan aku putri, Aku benar-benar nakhoda yang tak piawai.

Badai..? apakah benar itu sebuah badai, putri?. Apakah tak pernah terlintas dalam benakmu, mungkin di sebrang sana setelah badai berlalu kau akan menemukan pulau yang indah dengan berbagai pohon dan pantainya yang begitu memukau, batu karang yang tampak karena kejernihan airnya dan kau akan menemukan kerang yang di dalamnya terdapat mutiara yang berkilau..?. atau Apa kau akan tetap yakin pada sang nakhoda dan bahteranya yang terus terapung terombang-ambing di atas deburan ombak sampai ia menemukan sebuah daratan untuk ia bisa menepikan diri dan bahteranya. Siapkah dirimu untuk mengarungi ganasnya laut kehidupan, bersama dalam pahit, perih, bahkan sengsara demi mencapai daratan impian???.

Harap dan angan ku masih tetap berdiri meski tak sekokoh sedia kala, sebelum semua terjadi begitu singkat. Sungguh terasa lebih singkat melebihi kecepatan cahaya. Semua ini benar-benar tak bisa terelakkan, sungguh hanya kekuatan doa yang masih tersisa.

Ya Allah…
Aku hanyalah hambamu yang payah
Yang selalu mengeluh dan mendesah
Meski asa dan daya sudah ku kerah
Sempat juga aku berpikir untuk menyerah
Cukuplah aku berkeluh kesah
Kini aku hanyalah bisa berpasrah                           
Dalam harap dan doaku menengadah.

(Sebuah Catatan Seorang Ibnu)





 

Menggugat Tetek Bengek



Kepribadian seseorang tercermin dari bahasanya. Bahasa juga menunjukan budaya suatu bangsa. Kesimpulan kasarnya tinggi-rendahnya budaya suatu bangsa tergambar dari bahasanya. Begitu juga luhur-tidaknya kepribadian seseorang tercermin dari bahasanya.

Betulkah kesimpulan ini? Secara lahiriah, ya memang betul. Tapi secara batiniah belum tentu seperti itu. Buktinya para koruptor, para penipu banyak yang berpenampilan terhormat, berbahasa santun tapi toh kemudian ujung-ujungnya merugikan, menusuk dari belakang yang rasanya lebih menyakitkan daripada menusuk mata terbelalak. Atau sebaliknya ada orang yang berpenampilan sangar, berbahasa kasar tapi berhati sebening embun, selembut beludru, sehalus sutra, secerah surya, semulia emas.

Memang kita manusia sebagai makhluk lahir bathin sangat sulit menilai bathin dari bahasa, menilai hati dari rupa. Tapi toh dalam kaidah ushul fiqih juga disebutkan “fahkum bidzdzowahir wala tahkum bissarooir” putuskan kesimpulan dari lahiriyahnya dan jangan sebaliknya diputuskan dari bathiniyahnya. Hakim di pengadilan apapun pasti seperti itu memutuskan perkara berdasar alat bukti yang ada dan jelas.

Kermbali kepada masalah kepribadian dan budaya yang tercermin dari bahasa seseorang atau bahasa suatu bangsa. Seperti sering digaungkan dimana-mana bahwa bangsa kita – bangsa Indonesia – adalah bangsa yang terkenal dengan keramah-tamahannya, berbudaya tinggi yang tentunya berbahasa santun. Tak hanya itu bahkan sejarah mencatat para pendiri bangsa kita ketika berbicara dibanyak kesempatan di sidang PBB sangat mencengangkan, membuat terkagum-kagum banyak orang. Kenapa, karena kemampuan berbahasa Inggrisnya yang sangat pilihan, lebih halus daripada para bangsawan Inggris sekalipun. Bahasa adalah kendaraan untuk menyampaikan maksud tapi juga sekaligus mencerminkan budaya bangsa dan kepribadian seseorang, buktinya bangsa Indonesia yang usianya sangat belia sangat diperhitungkan, berkat perjuangan dan orasi orator sekelas Presiden Sukarno. Siapapun di negri ini dengan bangga berkata “Hidup Bung Karno”, “Sukarno, babe gue”,  “Sukarno.. dilawan..”.

Berbicara tentang bahasa, sebuah pertanyaan, siapakah pencipta kata dalam suatu bahasa? Jawabannya sangat kompleks yang intinya pencipta kata suatu bahasa adalah penggunanya itu sendiri. Sebuah kosa kata terucap dari mulut seseorang dan dimaklumi maksudnya, terus menyebar liar dari mulut ke mulut dimengerti artinya dan disetujui penggunaannya oleh banyak orang bahkan setelah berputarnya waktu. Maka jadilah kosa kata itu kekayaan sebuah bahasa. Dalam posisi seperti ini jelas terbayang oleh kita bahwa orang yang perkataannya banyak didengar oleh banyak orang seperti guru, para pejabat, artis, para mubaligh sangat bisa berperan dalam melahirkan sebuah kosa kata baru. Terlepas apakah kosa kata itu menggelikan ataupun jorok, tidak senonoh.

Sebuah pertanyaan lanjutan, santunnya suatu kalimat (perkataan) karena bahasanya ataukah karena pilihan katanya? Jawabannya sangat mudah tentu saja karena pilihan katanya. Jelasnya disini seorang pembicara santun pasti sangat mengerti diksi, pilihan kata. Sebab kesantunan juga menunjukan keterpelajaran seseorang, dan dalam masyarakat sosial kesantunan menunjukan keterhormatan seseorang. Lalu bagaimana fenomena kata tetek-bengek  yang banyak diucapkan bahkan oleh  publik pigur termasuk oleh guru dan orang-orang terhormat dan terpelajar lainnya. “Seharusnya saya sebagai direktur tidak perlu turun tangan mengurusi tetek-bengek ini, masa urusan tetek-bengek dapur harus diselesaikan oleh saya juga”. Kata tetek-bengek disini berarti semua hal, segala hal, seluruhnya. Padahal kata tetek-bengek kalau kita dekati, kita selusuri makna dasarnya tetek berarti susu atau payudara (binatang dan manusia). Sedang bengek berarti lembek, penyakit TBC (penyakit mengi; Bahasa Jawa). Sehingga tetek-bengek berarti susu atau payudara lembek, atau bisa juga susu atau payudara orang berpenyakit TBC.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana mungkin kemudian orang-orang yang terhormat, terpelajar masih memilih kata tetek-bengek, kosa kata yang vulgar berbau cabul ini ditempat umum. Padahal jelas makna asalnya sangat tidak senonoh. Apakah karena ketidaktahuan, ketidakpedulian, pelecehan, suka-suka saja, atau karena sebab lain. Padahal mungkin saja pencetusnya adalah preman pasar atau mungkin juga asalnya adalah sumpah serapah orang yang marah-marah. Lagi-lagi pertanyaannya mengapa kita mengikutinya dan menggunakan kata tetek-bengek dalam keseharian bahkan dalam acara formal. Mungkin ada kilah, kata majemuk memang seperti itu. Makna kata jadiannya selalu berubah dari makna dasarnya. Tapi kalau kita lihat untuk kata majemuk lain maknanya tidak sampai membawa-bawa organ tubuh yang tidak senonoh. Rumah sakit, terdiri dari kata rumah dan sakit. Sopan-sopan saja. Kamar mayat, terdiri dari kata kamar dan mayat, sopan tidak masalah. Tapi tetek-bengek, apa sopannya? Tetek kan organ tubuh yang tidak layak diperlihatkan dimuka umum. Walau mungkin ada sebagian warga disebagian suku tertentu tidak mempermasalahkan kebiasaan perempuan yang bertelanjang dada. Bahkan kata tetek diucapkannya juga saya yakin sebagian besar rakyat Indonesia akan berpaling  muka. Bahkan sebagian orang terutama perempuan memerah muka karena menahan malu ataupun alasan lainnya. Akhirnya nasib sebuah teori padat berisi penuh mutiara terlantarkan pada sebagian orang hanya karena kemasan bahasa yang menurutnya tidak berkenan.

Berikut beberapa responden yang dimintai komentarnya tentang kata tetek-bengek yang sebelumnya diberitahukan dulu makna dasarnya.

No
Nama
L/P
Usia
Komentar
Keterangan
1
Heri
L
9 thn
“Tidak sopan...!”
Siswa SD
kelas 3
2
Iwan
L
32 thn
“Kita ini korban pencetus kata tersebut, kata ini kadung sudah  ada tapi seharusnya orang terpelajar dan publik figur jangan menggunakannya”
Pegawai Foto Copy
3
Ayu
P
14 thn
“Tidak apa-apa.. tapi saya malu mendengarnya kalau ingat makna dasarnya. Saya sendiri tidak menggunakannya”.
Siswi SLTP
Kelas VIII
4
Aan
L
30 thn
“Tidak apa-apa, kita kan melihat makna jadiannya saja. Tidak perlu kita melihat kata majemuk dengan melihat makna dasarnya”
Guru SD
5
Nining
P
20 thn
“Pelecehan..!”
Penjahit
6
Kurbah
P
52 thn
“Pasti pencetusnya laki-laki, maksudnya sih bergurau tapi keterlaluan..”
Ibu Rumah Tangga

Tulisan ini  seperti hendak mendongkel batu sebesar rumah dengan sebatang lidi. Tulisan ini juga mungkin bagi para akademisi menganggapnya tidak ilmiah. Tapi seperti kata Aa Gym 3M; Mulailah dari hal kecil. Mulailah dari diri sendiri. Dan Mulailah saat ini juga.
Dan kepada para pengguna kata tetek-bengek, ketahuilah bahwa ketika menggunakannya maka ada beberapa orang yang memberi penilaian negatif terhadap anda. Mungkin penilaian yang sangat subjektif. Tapi apapun itu jelas ada beberapa audiens mulai meninggalkan anda.

 

Ketika Kita Bukanlah Kita Yang Dulu ...





Saat jati diri tak terungkap,
dan terkadang sikap diri-pun tak dikenal.
maka ...
sadarlah ...
bahwa terkadang kita bukanlah diri kita.!
Ada banyak perubahan dalam diri kita.
serta banyak pula yang hilang dari diri kita.
karena kita bukanlah kita yang dulu..

  
polos ...
lugu ...
jujur apa adanya .
dan masih banyak sikap  yang hilang dari diri kita.

kita telah kehilangan keaslian kita ..,
ketakutan terhadap perbuatan buruk yang dulu ada,
kini entah kemana perginya.

sejatinya..

kita bukanlah kita yang dulu ..

 

Mungkinkah Berguru Pada Alam Lain?




"Barang siapa yang bermimpi melihatku, maka dia melihatku karena setan tidak akan bisa menyerupai diriku." (Hadis) 
"Alangkah miskinnya seorang murid jika gurunya hanya orang-orang hidup atau manusia biasa".
Suatu saat Imam al-Gazali ditanya muridnya perihal banyaknya hadis ahad atau hadis tak populer yang dikutip dalam kitabnya,Ihya' 'Ulum al-Din. Lalu, al-Ghazali menjawab, dirinya tak pernah mencantumkan sebuah hadis dalam Ihya' tanpa mengonfirmasikan kebenarannya kepada Rasulullah.
Jika ada lebih dari 200 hadis dikutip di dalam kitab itu, berarti lebih 200 kali Imam al-Gazali berjumpa dengan Rasulullah. Padahal, Imam al-Ghazali hidup pada 450 H/1058 M hingga 505 H/1111 M, sedangkan Rasulullah wafat tahun 632 M. Berarti, masa hidup antara keduanya terpaut lima abad.
Kitab Ihya' yang terdiri atas empat jilid itu ditulis di menara Masjid Damaskus, Suriah, yang sunyi dari hiruk pikuk manusia. Pengalaman lain, Ibnu 'Arabi juga pernah ditanya muridnya tentang kitabnya, Fushush al-Hikam. Setiap kali sang murid membaca pasal yang sama dalam kitab itu selalu saja ada inspirasi baru.
Menurutnya, kitab Fushush bagaikan mata air yang tidak pernah kering. Ibnu 'Arabi menjawab, kitab itu termasuk judulnya dari Rasulullah yang diberikan melalui mimpi. Dalam mimpi itu, Rasulullah mengatakan, "Khudz hadzal kitab, Fushush al-Hikam (ambil kitab ini, judulnya Fushush al-Hikam)."
Kitab Jami' Karamat al-Auliya' karangan Syekh Yusuf bin Isma'il al-Nabhani, sebanyak dua jilid, mengulas sekitar 625 tokoh/ulama yang memiliki karamah, yaitu pengalaman luar biasa mulai dari sahabat nabi hingga tokoh abad ke-19.
Sayang, di dalamnya tidak dimasukkan sejumlah orang yang dapat dikategorikan sebagai wali yang berasal dari Indonesia. Seperti beberapa ulama yang tergabung di dalam Wali Songo. Dalam kitab ini, subhanallah, ternyata pengalaman batin dan spiritual hamba Allah SWT berbeda-beda.
Umumnya mereka sudah berada di atas maqam yang lebih tinggi atau di atas rata-rata. Ternyata alam gaib bagi setiap orang tidak sama. Ada yang masih tebal dan ada yang sudah transparan (mukasyafah). Bagi mereka yang sudah berada di tingkatmukasyafah, sudah bisa berkomunikasi lintas alam.
Mereka seperti hidup di alam yang bebas dimensi, tidak lagi terikat dengan ruang dan waktu. Mereka bisa berkomunikasi interaktif dengan makhluk dan para penghuni alam lain, baik di alam malakut, alam jabarut, maupun alam barzakh lainnya. Sulit mengatakan apa yang diungkapkan dalam kitab Jami' Karamat al-Auliya' itu mitos atau bohong.
Sebab, Allah dalam sejumlah ayat ditambah hadis-hadis Rasulullah menekankan adanya kemungkinan hamba-hamba Tuhan yang memiliki kemampuan untuk mengakses apa yang disebut William C Chittick sebagai The Imaginal Worlds. Menurut istilah Imam al-Ghazali, itu disebut sebagai alam hayal atau alam mitsal, seperti istilah Ibnu 'Arabi.
Dari sisi ini, muncul pernyataan bahwa alangkah miskinnya seorang murid jika gurunya hanya orang-orang hidup atau hanya manusia biasa. Bahkan, Chittick, pengagum Ibnu Arabi, menemukan bukti-bukti dalam kita Futuhat al-Makkiyah (4 jilid) karya Ibnu Arabi mengatakan, "The person with whom he met had lived many thousands of years before." (Orang yang pernah dijumpai (Ibnu Arabi) hidup ribuan tahun silam).
Singkat cerita, Ibnu Arabi pernah menjumpai seseorang yang memperkenalkan diri telah hidup 40 tahun. Ibnu Arabi mengatakan, bagaimana mungkin, Nabi Adam saja belum hidup ketika itu. Lalu orang itu mengatakan, Adam yang mana, sambil mengingatkannya pada hadis Nabi Muhammad, "Innallaha lhalaqa miata alaf Adam" (Sesungguhnya Allah telah menciptakan 100.000 Adam). (Lihat Futuhat, jilid III, h. 459).
Orang-orang yang memiliki batin bersih setelah menempuh suluk, mujahadah, dan riyadhah, maka sangat berpeluang bisa menjalin komunikasi interaktif dengan para penghuni alam-alam lain. Termasuk kemampuan berkomunikasi atau belajar dari arwah para auliya' dan arwah kekasih Tuhan lainnya.
Di dalam sebuah hadis disebutkan, "Seandainya bukan karena dosa yang menutupi kalbu Bani Adam, niscaya mereka menyaksikan malaikat di langit." (HR Ahmad dari Abi Hurairah). Sebaliknya, penghuni makhluk cerdas alam lain, yang diistilahkan dalam Alquran man fi al-sama', juga bisa menyaksikan hamba-hamba kekasih Tuhan di bumi sebagaimana dinyatakan Rasulullah, "Sesungguhnya para penghuni langit mengenal penghuni bumi yang selalu mengingat dan berzikir kepada Allah bagaikan bintang yang bersinar di langit."
Dalam Alquran dinyatakan dalam ayat, "Untuk mereka kabar gembira waktu mereka hidup di dunia dan di akhirat." (QS Yunus/10:64). Para ulama tafsir mengomentari ayat ini sesuai dengan pengalaman sahabat Nabi Muhammad, Abu Darda', yang menanyakan apa maksud ayat ini.
Rasulullah menjelaskan, "Yang dimaksud ayat ini ialah mimpi baik yang dilihat atau diperlihatkan Allah SWT kepadanya."Dalam ayat lain lebih jelas lagi Allah berfirman, "Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya." (QS al-Zumar/39:42).
Dalam kita-kitab tafsir Isyari, ayat ini mendapatkan komentar panjang bahwa di waktu tidur orang bisa mendapatkan banyak pencerahan. Bahkan, dalam Alquran juga menunjukkan kepada kita sejumlah syariat dibangun di atas mimpi (al-manam), seperti perintah ibadah kurban (QS al-Shafat/37:102).
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa berkomunikasi dan sekaligus belajar kepada para penghuni alam lain sangat dimungkinkan oleh orang-orang yang telah sampai kepada maqam tertentu. Namun, kita perlu hati-hati bahwa sehebat apa pun ilmu dan inspirasi yang diperoleh seseorang tetap tidak boleh menyetarakan diri dengan Nabi Muhammad sebagai khatamun nubuwwah.
Kehati-hatian lain ialah jangan sampai bisikan setan dianggap bisikan suci dari penghuni alam lain. Oleh karena itu, Imam al-Gazali pernah mewanti-wanti, jika ada orang menjalani suluk tanpa syekh atau mursyid, dikhawatirkan setan yang akan membimbingnya

(Republika)

 

Syair Abu Nawas



v     إِلهِي لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاً    
                وَلاَ أَقْوَى عَلىَ النَّارِ الجَحِيْمِ
v     فَهَبْ ليِ تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوْبيِ     
               فَإِنَّكَ غَافِرُ الذَّنْبِ العَظِيْمِ
v     ذُنُوْبيِ مِثْلُ أَعْدَادِ الرِّمَالِ    
                فَهَبْ ليِ تَوْبَةً يَاذاَالجَلاَلِ
v     وَعُمْرِي نَاقِصٌ فيِ كُلِّ يَوْمٍ  
                   وَذَنْبيِ زَئِدٌ كَيْفَ احْتِمَالِ
v     إِلهِي عَبْدُكَ العَاصِي أَتَاكَ         
           مُقِرًّا  بِالذُّنُوْبِ وَقَدْ دَعَاكَ
v     وَإِنْ تَغْفِرْ فَأَنْتَ لِذَا أَهْلٌ              
                 فَإِنْ تَطْرُدْ فَمَنْ نَرْجُو سِوَاكَ

Wahai Tuhanku ! Aku bukanlah ahli surga 
tapi aku tidak kuat dalam neraka.

Maka berilah aku taubat (ampunan) dan ampunilah dosaku
sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa yang besar.

Dosaku bagaikan bilangan pasir
maka berilah aku taubat wahai Tuhanku yang memiliki keagungan.

Umurku berkurang setiap hari
sedang dosaku selalu bertambah, bagaimana aku menanggungnya.

Wahai, Tuhanku! Hamba Mu yang durhaka telah datang kepada Mu #
dengan mengakui segala dosa, dan telah memohon kepada Mu.

Maka jika Engkau mengampuni, Engkaulah pemilik ampunan
tetapi jika Engkau menolak, kepada siapa lagi aku mengharap selain kepada Engkau?